PENGARUH
PENGENALAN KOMPUTER PADA PERKEMBANGAN PSIKOLOGI
ANAK: STUDI KASUS TAMAN BALITA SALMAN AL FARISI
Mukhammad
Andri Setiawan, Army Widyastuti, Aulia Nurhuda
Saat ini, perkembangan teknologi
telah merambah berbagai bidang. Teknologi tidak lagi sekedar untuk teknologi,
tapi teknologi yang telah mencakup berbagai ranah kehidupan manusia, teknologi
yang telah mempengaruhi kehidupan manusia, teknologi yang telah menjadi bagian integral
kehidupan manusia.
Di era digital ini, semakin banyak
anak-anak yang memiliki akses komputer di rumah atau di sekolah untuk banyak
hal, dimulai dari permainan komputer, atau membantu mengerjakan pekerjaan rumah,
bahkan melakukan chatting dan email atau pun browsing di Internet. Subrahmanyam
(dalam Kraut, 2000) menyatakan bahwa di Amerika Serikat pada tahun 1999
diperkirakan 67% dari rumah yang ada di AS memiliki game komputer konsol
seperti Sega atau Nintendo, kemudian 60% memiliki PC, dan 37 persen di
antaranya telah terkoneksi dengan Internet.
Bahkan Subrahmanyam juga menyatakan dalam
salah satu risetnya, terdapat pertanyaan yang diajukan kepada anak berumur 8
hingga 18 tahun yang mempertanyakan barang apa yang akan di bawa jika mereka
berada di tengah padang pasir, maka mereka akan menjawab komputer dengan akses
Internet, termasuk di antaranya televisi sebagaimana yang diungkapkan oleh
Rideout (1999).
Di Indonesia, walaupun belum banyak ditemukan
riset yang mendalam mengenai jumlah komputer rumah yang dipergunakan oleh
anak-anak, tapi dari waktu ke waktu, kepemilikan komputer yang semakin
meningkat setiap tahunnya sedikit banyak akan mempengaruhi jumlah anak yang berinteraksi
dengannya. Dengan semakin meningkatnya peran komputer rumah dalam kehidupan
anak-anak, dibutuhkan sebuah perhatian khusus bagaimana efek dari ini semua
kepada anak-anak. Waktu yang dibutuhkan oleh anak untuk berinteraksi dengan
komputer sangat mungkin menggantikan waktu anak-anak yang seharusnya dipergunakan
untuk mengembangkan kemampuan dirinya baik dalam aspek kognitif maupun aspek
motorik.
Penelitian ini diharapkan mampu
membantu untuk menunjukkan kepada orang tua dan pihak-pihak yang berkompeten
untuk menggali dan memaksimalkan efek positif dan meminimalisir efek buruk dari
penggunaan teknologi komputer pada anak-anak.
Penelitian ini dilakukan pada Taman
Balita Salman Al Farisi yang terletak di komplek Pogung Baru, Sleman,
Yogyakarta. Subjek penelitian adalah para balita, penelitian pada balita
dilakukan karena lima tahun pertama merupakan masa emas (Golden Age)
dari seorang anak sebagaimana dikatakan oleh Freud (dalam Monks. 1999).
Pada perkembangannya, seorang anak
akan melewati beberapa tugas prakembang agar perkembangan fisik dan
psikologinya berjalan dengan baik. Tugas-tugas prakembang pada fase kanak-kanak
diantaranya adalah: mempelajari ketrampilan fisik, membangun sikap sehat untuk mengenal
diri sendiri, belajar menyesuaikan diri dengan teman seusia (peer group),
menggabungkan peran sosial pria dan wanita dengan tepat, mengembangkan
ketrampilan-ketrampilan dasar untuk membaca, menulis dan berhitung, mengembangkan
pengertian-pengertian yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, mengembangkan
hati nurani, pengertian moral, dan tata serta tingkatan nilai, mengembangkan
sikap terhadap kelompok-kelompok sosial dan lembaga-lembaga, serta mencapai
kebebasan pribadi.
Untuk memenuhi fase prakembang ini, terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi penguasaan tugas-tugas perkembangan menurut
Hurlock (1980), yaitu:
a. Yang
menghalangi
·
Tingkat perkembangan yang mundur
·
Tidak ada kesempatan untuk mempelajari tugas-tugas
perkembangan atau tidak ada bimbingan untuk dapat menguasainya
·
Tidak ada motivasi
·
Kesehatan yang buruk
·
Cacat tubuh
·
Tingkat kecerdasan yang rendah
b. Yang membantu
·
Tingkat perkembangan yang normal atau yang
diakselerasikan
·
Kesempatan-kesempatan untuk belajar tugas-tugas
dalam perkembangan dan bimbingan untuk menguasainya
·
Motivasi
·
Kesehatan yang baik dan tidak ada cacat tubuh
·
Tingkat kecerdasan yang tinggi
·
Kreativitas
Dari penelitian di atas, diperoleh
simpulan, bahwa teknologi khususnya komputer berpengaruh terhadap perkembangan
psikologi anak.
Meski demikian, penelitian ini masih
merupakan penelitian awal, yang perlu dilanjutkan dengan penelitian lanjutan.
Semisal kaitan teknologi dengan permasalahan kesehatan, penglihatan, perkembangan
sosial, dan lain sebagainya. Perlu lebih banyak lagi bukti yang dibutuhkan
untuk mendukung klaim bahwa komputer dapat membantu meningkatkan kinerja
perkembangan anak. Riset lanjutan perlu dilakukan untuk menentukan apakah komputer
rumah dapat memiliki efek yang lama dan signifikan terhadap kemajuan kemampuan
kognitif dan akademis.
APAKAH KEPRIBADIAN MENENTUKAN
PEMILIHAN MEDIA KOMUNIKASI ?
METAANALISIS TERHADAP HUBUNGAN
KEPRIBADIAN EXTRAVERSION, NEUROTICISM, DAN OPENNESS TO EXPERIENCE DENGAN
PENGGUNAAN EMAIL
Neila Ramdhani
Penggunaan Information Communication
Technology (ICT) sebagai sarana komunikasi semakin meningkat di berbagai
wilayah kehidupan manusia. ICT memungkinkan setiap orang berkomunikasi dengan
pihak lain yang terhubung dengan internet walaupun lokasi tempat tinggal mereka
saling berjauhan. Banyak fasilitas yang ditawarkan oleh internet kepada
pengguna. Selain untuk berselancar mencari informasi (browsing) internet juga
menyediakan fasilitas untuk berkirim surat elektronik (email). Dengan email,
pesan-pesan dapat disampaikan secara tertulis melintasi batas ruang dan waktu.
Walaupun tidak selengkap komunikasi tatap muka yang memungkinkan individu
menyampaikan pesan verbal dan non-verbal secara langsung, namun kehadiran email
sudah cukup memadai utuk menyampaikan sebuah pesan dengan kecepatan yang
tinggi.
Walaupun fasilitas internet sudah
tersedia dan dengan mudah dapat diakses, namun tidak semua orang
memanfaatkannya. Kenyataan ini telah mendorong para peneliti untuk mencari apa
sebabnya demikian. Menurut pandangan Lewin (1951) munculnya perilaku pada diiri
seseorang ditentukan oleh dua faktor. Pertama adalah faktor di dalam dirinya,
misalnya sifat kepribadian, kecerdasan, tata-nilai dan kondisi fisik. Sedangkan
faktor kedua adalah faktor di luar dirinya, yakni segala sesuatu yang ada di
lingkungan seperti peralatan, cuaca, orang-orang disekitarnya. Secara formula
matematik Lewin merumuskan teorinya ke dalam sebuah persamaan B= f (O,E). Di
mana B adalah Behavior ( misalnya perilaku penggunaan internet untuk email); f (fungsi);
O (Organism, yaitu hal-hal yang ada di dalam diri individu seperti sifat
kepribadian dan kondisi fisik); E adalah Environment segala sesuatu di luar
diri individu (adanya failitas internet, kontak sosial, dorongan orang lain
untuk menggunakan internet dll). Kedua variable dalam diri dan di luar diri ini
saling berpengaruh satu dengan lainnya.
Formulasi teori yang dikemukakan
oleh Lewin tersebut jika dikaitkan dengan perilaku penggunaan email, maka salah
satu faktor penyebab dari dalam diri yang mempengaruhi penggunaan email adalah
faktor individu (sifat kepribadian). Sedangkan faktor di luar diri yang
mempengaruhi penggunaan email antara lain adalah kontak sosial, ciri-ciri
kekayaan komunikasi yang ditampilkan oleh sebuah media komunikasi, tersedianya
fasilitas internet, dan kemudahan penggunaan internet untuk berkirim email.
Fulk, Schmitz, dan Steinfield (1990)
melakukan kajian terhadap faktor individu pengguna email melalui pendekatan social
influence theory. Fulk et all. mengemukakan bahwa pemilihan media dipengaruhi
tidak hanya oleh karakteristik media yang digunakan tetapi juga oleh
karakteristik individu dan konteks sosial dengan siapa individu berhubungan.
Karakteristik individu adalah kepribadian (Minsky & Marin, 1999), persepsi
(Davis, 1989; Davis, Bagozzi, dan Warshaw, 1989), pengalaman (Carlson & Zmud,
1999).
Sedangkan faktor di luar diri yang
mempengaruhi pilihan cara berkomunikasi (pakai email atau lainnya) telah banyak
dibahas oleh ahli. Salah satu faktor di luar diri yang mempengaruhi penggunaan
internet adalah orang lain yang menjadi bagian dari kontak sosial. Konteks
sosial adalah teman sekerja (Minsky & Marin, 1999), atasan, dan orang-orang
yang ada di dalam jejaring sosialnya juga sangat mempengaruhi perilaku dalam
memilih media komunikasi (Fulk, 1993; Markus, 1994; Walther, 1996).
Selain faktor kontak sosial,
keunggulan satu cara komunikasi di dalam menyampaikan pesan juga telah ikut
mempengaruhi pilihan cara untuk berkomunikasi. Dua teori komunikasi yang banyak
digunakan untuk membahas penggunaan ICT sebagai media komunikasi yaitu Social
Presence Theory (Short, Williams, & Christie, 1976) dan Media Richness
Theory (Daft & Lengel, 1984; Trevino, Lengel, &
Daft, 1987). Social
Presence Theory (SPT) menekankan pada kemampuan media untuk
mengakomodasi
kehadiran sosial individu. Kehadiran sosial ini meliputi tidak hanya kehadiran
fisik tetapi juga berbagai ekspresi emosi yang dapat menampilkan isyarat yang
dibutuhkan sehingga menjadikan komunikasi lebih bermakna. Media komunikasi yang
baik dapat memberikan kepada pelaku komunikasi, kesempatan untuk ‘hadir’ terlibat
di dalam percakapan. Media Richness Theory (MRT) memandang media komunikasi
berdasarkan kemampuan media untuk menyampaikan informasi
(Trevino,
at.all., 1987). Berkaitan dengan MRT ini Sitkin, Sutcliffe, dan Barrios-Choplin
(dalam Minsky & Marin, 1999) menyebutkan ada dua komponen penentu kekayaan
media, yaitu kemampuan menyampaikan informasi dan kemampuan menyampaikan
informasi mengenai individu pembawa informasi.
Dengan demikian, fokus MRT ini
adalah pada kemampuan media untuk memberikan feedback, isyarat non verbal,
menjaga keutuhan pesan, dan menyajikan ekspresi emosi. Berdasar kriteria
tersebut, SPT maupun MRT menempatkan face to face communication sebagai media
terkaya, diikuti oleh video conferencing, sychronous audio (telepon), text-based
chat, asynchronous audio/email, dan threaded discussion.
Pada awal mula dikembangkannya
komunikasi berbasis komputer, kedua teori tersebut banyak digunakan untuk
mempelajari perilaku komunikasi manusia (Short, Williams, & Christie, 1976;
Daft & Lengel, 1984; Trevino, Lengel, & Daft, 1987). Namun demikian,
kedua teori tersebut tidak memberikan penjelasan mengenai alasan individu dalam
memilih email sebagai alat komunikasi. Melihat fakta yang menunjukkan bahwa
penggunaan email semakin meningkat dari waktu ke waktu1, maka perlu ada sebuah
studi untuk mengkaji apa saja faktor kepribadian yang mempengaruhi penggunaan email.
Meningkatnya ketersediaan
infrastruktur IT akhir-akhir ini, telah menjadikan email sebagai sarana
komunikasi yang semakin populer penggunaannya. Ruang dan waktu yang sering
menjadi hambatan untuk berkomunikasi kini dapat diatasi dengan penggunaan
email. Namun demikian tidak setiap orang memanfaatkan email. Untuk memperoleh
manfaat yang maksimal dari email, upaya pemberian pemahaman dan penyediaan
fasilitas internet perlu terus ditingkatkan.
Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis hubungan faktor kepribadian (personality traits) dengan pemilihan
media komunikasi. Dua puluh dua data, baik yang sudah dipublikasikan selama periode
1999-2006 di berbagai jurnal maupun di internet dianalisis di dalam tulisan
ini. Kedua puluh dua penelitian tersebut melibatkan 4267 orang, mengungkap
dimensi extraversion, neuroticism, dan openness to experience.
Analisis difokuskan pada hubungan
antara faktor kepribadian dengan penggunaan email. Kepribadian extraversion dan
penggunaan email ini terbukti behubungan secara signifikan dengan koreksi terhadap
kesalahan sampling (r= 0.33; p<0,05) maupun kesalahan pengukuran (r =
0.0085; p<0,05). Hubungan antara kepribadian neuroticism dan penggunaan
email terbukti signifikan dengan
koreksi terhadap
kesalahan sampling (r= 0.129; p<0,05) maupun kesalahan pengukuran (r =
0.024; p<0,05). Demikian pula halnya kepribadian openness to experience terbukti
berhubungan secara signifikan dengan penggunaan email, dengan koreksi kesalahan
sampling (r= 0.30; p<0,05), dan koreksi kesalahan pengukuran (r = -0.06;
p<0,05).
Hasil analisis ini memperkuat
penelitian sebelum yang mengemukakan bahwa extraversion, neuroticism, dan openness
to experience adalah dimensi kepribadian yang dapat dikaitkan dengan penggunaan
email.
PSIKOLOGI
DAN TANTANGAN MILLENIUM KE TIGA:
DAMPAK
TEKNOLOGI INTERNET PADA KEHIDUPAN MANUSIA DAN PENGELOLAAN INSTITUSI PENDIDIKAN
PSIKOLOGI
Djamaludin Ancok
Banyak sekali tantangan yang
dihadapi oleh ilmu Psikologi di dalam menghadapi permasalahan milenium ke tiga.
Bila pada dua dekade yang lalu kita berada dalam kondisi yang lebih pasti,
segala sesuatu bisa diprediksi secara linear; kini kita dihadapkan pada ketidakpastian.
Sangat sulit untuk memprediksi apa yang bakal terjadi di masa depan. Sesuatu
yang merupakan kepastian hanyalah ketidakpastian itu sendiri. Situasi yang kita
hadapi sekarang ini berbeda dengan situasi masa lalu. Bila diibaratkan dengan
sebuah bahtera, masa tiga dekade yang lalu kita berlayar di sebuah sungai yang
tenang yang segala lika-liku perjalanan sepanjang sungai dapat diprediksi.
Secara pasti kita bisa memperhitungkan kapan sebuah tujuan akan dicapai. Kini
kita telah memasuki situasi berlayar di arung jeram yang kita tidak pernah bisa
memprediksi apa yang bakal terjadi di depan.
Dalam kondisi demikian diperlukan
adanya paradigma baru di dalam menghadapi kehidupan. Paradigma lama hanya akan
menghantarkan pada kehancuran (lihat Ancok, 1997; Gibson, 1997). Demikian pula
dengan paradigma pendidikan psikologi.Tampaknya diperlukan suatu paradigma
baru. Paradigma lama hanya akan membuat ilmu psikologi menjadi usang, dan tidak
relevan dengan tuntutan perubahan.
Don Tappscott (1996) dalam buku yang
sangat laris dengan judul Digital economy: Promise and Peril in the Age of
Networked Intelligence menggambarkan bagaimana dampak teknologi
internet pada kehidupan manusia.
Kehadiran teknologi internet yang
semakin canggih telah merubah gaya hidup manusia dan tuntutan pada kompetensi
manusia. Kini kehidupan manusia semakin tergantung pada komputer.
Sepengetahuan penulis belum ada
kajian yang sistimatik mengenai dampak dari teknologi internet dan permainan
elektronik terhadap berbagai dimensi psikologi kehidupan manusia. Apa yang
ditulis berikut ini lebih banyak merupakan pertanyaan yang kiranya perlu
dijawab melalui suatu penelitian yang sistimatik.
Penulis menduga teknologi komputer,
internet, elektronik game akan berpengaruh pada berbagai aspek psikologi.
Berbagai aspek yang kiranya akan terpengaruh akan diuraikan berikut ini:
1. Perbedaan
kepribadian pria dan wanita.
Kehadiran komputer dan internet
telah merubah dunia kerja, dari tekanan pada kerja otot ke kerja otak..
Implikasinya adalah perbedaan perilaku pria dan wanita semakin mengecil. Kini
semakin banyak pekerjaan kaum pria yang dijalankan oleh kaum wanita. Banyak
pakar yang berpendapat bahwa kini semakin besar porsi wanita yang memegang posisi
sebagai pemimpin, baik dalam dunia pemerintahan maupun dalam dunia bisnis. Bahkan
perubahan perilaku ke arah perilaku yang sebelumnya merupakan pekerjaan pria semakin
menonjol.
Kita belum memperoleh informasi yang
sistimatik tentang perbedaan aspek kognitif dan kepribadian pria dan wanita sebagai
akibat penggunaan teknologi komputer seperti yang dikemukakan di atas. Apakah
masih ada perbedaan sifat kepribadian seperti yang secara tradisional kita
ketahui bahwa wanita lebih menonjol dalam aspek verbal dan emosional, sedangkan
pria lebih menonjol dalam aspek non-verbal dan lebih asertif (lihat Conger,
1975). Apakah ketakutan akan sukses semakin menipis pada kaum wanita (lihat Alimatus
Sahrah, 1996). Kalau dikaitkan dengan aspek psikologi peran seks ( Bem, 1983.),
apakah kini semakin banyak kelompok androgini, ataukah semakin banyak porsi wanita
yang berperan seks maskulin? Bila demikian apakah dampaknya bagi hubungan sosial
pria dan wanita?
2. Perkembangan
kognitif.
Berbeda dengan menonton televisi
yang para penonton bersifat pasif, internet dan permainan elektronik sangat
bersifat interaktif. Diduga internet dan permainan elektronik dapat merangsang
pertumbuhan kecerdasan anak-anak dan orang dewasa.
3. Perkembangan
seksualitas.
Selain dapat digunakan untuk
berpacaran melalui progam internet relay chatting (IRC), internet dapat
pula digunakan untuk mengakses gambar dan filem porno. Walaupun gambar porno
dan cerita porno dapat diperoleh dari berbagai sumber, kehadiran internet
semakin menyemarakkan perolehan pronografi tersebut. Banyak pakar yang
berpendapat bahwa rangsangan seksual yang diperoleh anak akan mempercepat
proses kematangan seksual (lihat Conger, 1975).
4. Kecemasan
teknologi
Menjelang pergantian tahun 2000
banyak sekali manusia yang dilanda kecemasan dan ketakutan menghadapi kutu Y2K
(year two kilo). Ketakutan akan listrik mati, pesawat akan tabrakan,
uang di bank hilang, senjata nuklir menembakkan peluru tanpa terkendali. Itu
adalah beberapa contoh ketakutan di awal millenium ini.
5. Pola
interaksi antar manusia
Kehadiran komputer pada kebanyakan
rumah tangga golongan menengah ke atas telah merubah pola interaksi keluarga.
Komputer yang disambungkan dengan tilpon telah membuka peluang bagi siapa saja
untuk berhubungan dengan dunia luar. Program internet relay chatting (IRC), internet,
dan e-mail telah membuat orang asyik dengan kehidupannya sendiri. Selain
itu tersedianya berbagai warung internet ( warnet) telah memberi peluang kepada
banyak orang yang tidak memiliki komputer dan saluran internet sendiri untuk berkomunikasi
dengan orang lain melalui internet. Kini semakin banyak orang yang menghabiskan
waktunya sendirian dengan komputer. Melalui program internet relay chatting
(IRC) anak-anak bisa asyik mengobrol dengan teman dan orang asing kapan
saja.
6. Penggusuran
manusia
Dalam kehidupan yang digerakkan oleh
teknologi informasi (komputer dan internet) kesuksesan hidup didunia sangat
tergantung pada penguasaan pengetahuan, dan kemampuan mengelola emosi, dan
kemampuan mengelola hubungan sosial. Banyak pakar berpendapat bahwa kunci
sukses untuk mengarungi kehidupan turbulensi perubahannya sangat tinggi, orang
harus memiliki tiga modal, yakni intellectual capital, social
capital, soft capital, and spiritual capital (lihat Ancok, 1998; Ancok,
1999; Nahapiet & Ghoshal, 1998).
7. Kerahasiaan
alat tes semakin terancam
Melalui internet kita dapat
memperoleh informasi tentang tes psikologi, dan bahkan dapat memperoleh layanan
tes psikologi secara langsung dari internet. Tes yang tersedia dalam internet
yang pernah penulis buka antara lain adalah tes asertifitas, locus of control,
tes inteligensi emosional, tes kecemasan. Kini semakin sulit untuk merahasiakan
alat tes karena begitu mudahnya berbagai tes diperoleh melalui internet. Program
tes inteligensi seperti tes Raven, Differential Aptitudes Test dapat diakses melalui
compact disk.. Implikasi dari permasalahan ini adalah, tes psikologi
yang ada akan mudah sekali bocor, dan pengembangan tes psikologi harus berpacu
dengan kecepatan pembocoran melalui internet tersebut.
Dampak teknologi internet yang maju
dengan pesat ini akan dan telah merubah pola kehidupan manusia. Walaupun saat
ini baru sebagian orang yang sudah terbiasa menggunakan internet, namun
kecepatan internet memasuki kehidupan manusia sunguh luar biasa. Di Amerika
Serikat sudah lebih dari 25 persen rumah tangga yang memiliki komputer yang
memiliki akses internet (Tappscott, 1996). Walaupun belum ada data resmi berapa
persen dari rumah tangga yang memiliki komputer dan akses pada internet di
Indonesia, kini makin banyak rumah tangga yang memiliki komputer dan akses pada
internet.
Aspek psikologi yang terkait dengan
komputer dan internet jauh lebih luas dari apa yang dikemukakan di atas. Semoga
pembaca tulisan ini akan tertarik untuk mengkaji dampak psikologis lain yang
belum tertulis dalam makalah ini Semoga tulisan yang pendek ini akan memacu
kita bersama untuk lebih meningkatkan pemahaman kita tentang dampak psikologis
akibat perkembangan teknologi.
KAJIAN TERHADAP ASPEK PSIKOLOGIS DALAM LINGKUNGAN
AUDIT SISTEM INFORMASI
Josua
Tarigan
Psikologi
didefinisikan sebagai kajian ilmiah tentang tingkahlaku dalam proses mental
organisasi. Aspek psikologi sebenarnya lebih mengarah kepada manusia sebagai
pengguna sistem informasi yang ada. Berdasarkan analisa ICT Watch, maraknya
aksi cyberfraud yang terjadi di warnet disebabkan karena tidak adanya
kajian dan analisa dampak psikologis oleh para pemilik modal sebelum mendirikan
suatu warnet di daerah tertentu. Internet mulai berkembang di Indonesia sejak
masuknya PT Indo Internet, sebagai ISP komersial pertama, tahun 1994. Keyakinan
bahwa warnet dapat menjadi sebuah solusi dalam menjembatani kesenjangan
informasi sekaligus meningkatkan penetrasi Internet di Indonesia, sehingga
bermunculan proposal pendirian warnet dengan varian nama yang beragam. Dari sekian
banyak proposal tersebut, dan dari sekian banyak warnet yang telah berdiri,
nyaris tidak ada yang memasukkan atau melakukan analisa dampak psikologis. Hal
inilah yang menjadi salah satu penyebab pergesaran fungsi mulia warnet, yang
pada awalnya ditujukan sebagai solusi dalam menjembatani kesenjangan informasi
menjadi sarang bagi para pelaku cybercrime. Menurut analisa dari ICT Watch,
kondisi ini terjadi karena kekosongan mengenai pembahasan social cost, yakni
untuk mengadakan pelatihan atau pendidikan kepada masyarakat sekitar sebagai
sebuah tanggung-jawab psikologis, sehingga Warnet sebenarnya bukan hanya
berbicara mengenai margin keuntungan semata.
Apa yang diungkapkan oleh ICT Watch tersebut
merupakan satu bagian yang menunjukkan pentingnya perhatian auditor terhadap
lingkungan audit berbasis sistem informasi. Sebenarnya perhatian terhadap aspek
psikologis bukan hanya dalam lingkungan audit berbasis sistem informasi, namun juga
dapat terjadi pada aspek lain selain aspek audit. Memang isu Audit Sistem
Informasi merupakan isu yang tergolong cukup baru dalam konteks Indonesia. Penelitian
lebih jauh sangat diperlukan dalam aspek ini, sebagai salah satu bagian yang
dapat dilakukan dalam konteks perkembangan teknologi informasi.
Merupakan hal yang sudah menjadi
wacana umum, jika karyawan yang berumur memiliki resistant to change yang
lebih besar terhadap lingkungan berbasis information system. Menurut penelitian
yang dilakukan oleh pakar Psikologi Roger Morrell, orang yang sudah berumur
punya tingkat kesulitan lebih tinggi untuk menyeleksi informasi yang masuk,
mana yang penting dan mana yang kurang penting, dibandingkan dengan orang-orang
yang lebih muda umurnya. Seiring dengan penambahan umur pada manusia, diikuti
dengan penurunan kapasitas ingatan, hal ini menyebabkan, penerimaan informasi
yang terlalu banyak akan mempengaruhi kemampuan para lanjut usia memproses
informasi yang penting.
Penelitian yang dilakukan oleh Roger
Morrell tersebut merupakan salah satu aspek Psikologis yang harus diperhatikan
oleh organisasi terutama Auditor. Pemahaman terhadap aspek Psikologis ini
merupakan hal yang sangat jarang sekali dibahas dalam ruang lingkup Audit,
namun pemahaman terhadap aspek psikologis akan memudahkan auditor dalam melakukan
penugasan audit dalam lingkungan berbasis Audit Sistem Informasi dan juga
sebagai dasar dalam memberikan rekomendasi yang lebih tepat. Aspek Psikologis
dalam hal ini dibagi menjadi dua, yakni aspek error dan aspek fraud.
Dalam isu sistem
informasi, ada 2 isu resiko yang dapat terjadi, yakni error yang disebabkan
oleh ketidaksengajaan oleh user dan yang kedua adalah fraud yang disebabkan
karena kejahatan yang dilakukan oleh pihak internal organisasi bisnis.
Pemahaman auditor terhadap aspek pskilogis dalam lingkungan berbasis Audit
Sistem Informasi akan membantu Auditor dalam penugasan Audit terutama dalam
melakukan analisa terhadap erorr dan fraud yang terjadi dalam sistem informasi
organisasi bisnis sehingga sekaligus dapat memberikan rekomendasi yang tepat
bagi organisasi, berdasarkan temuan-temuan yang ada dalam penugasan lapangan.
Aspek Psikologis dalam
resiko error, terdapat elemen “lack of information”, “too much jargon”, “technophobia”
yang seringkali dialami oleh user yang perlu dipahami oleh Auditor, sedangkan
dalam resiko fraud terdapat elemen ”incentive/ pressure”, ”oppurtunity” dan ”rationalization”
yang cukup signifikan mempengaruhi pola fraud yang terjadi dalam organisasi.
KEBUTUHAN
BERAFILIASI, INTROVERSI KEPRIBADIAN SERTA KETERGANTUNGAN PADA FACEBOOK PADA
MAHASISWA
Tri Nurmala Dewi dan Joko Kuncoro
Perkembangan IPTEK yang begitu
pesat, membawa perubahan gaya hidup dalam membina hubungan akrab dengan orang
lain. Jejaring sosial sebagai salah satu sarana berkomunikasi dalam bentuk
maya, berhubungan atau menjalin komunikasi secara verbal melalui seperangkat
komputer atau sejenisnya yang dihubungkan melalui suatu jaringan telekomunikasi.
Di antara situs-situs jejaring sosial seperti EMRC, Friendster, Blog, MySpace, Facebook,
Twitter dan Kaskus, facebook menempati peringkat pertama
(http://Alexa.com/ 30 April 2010). Pengguna facebook di Indonesia
mengalami peningkatan setiap bulannya, dari catatan survei yang dilakukan
Global Monitor, dilansir melalui Inside facebook, Jumat (13/11/2009),
menempatkan Indonesia sebagai negara dengan pengguna facebook (facebooker)
terbanyak di kawasan Asia dan posisi ke-3 negara dengan pengguna facebook
terbesar di seluruh dunia dengan rentang usia adalah 12-24 tahun
Akselerasi pengguna facebook menggambarkan
bahwa masyarakat Indonesia memiliki ketertarikan yang lebih dalam
bersosialisasi dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan pernyataan Handi Irawan
D., Chairman Frontier Consulting Group dalam kolomnya di majalah Marketing
Januari 2010. Ia mengatakan, “Konsumen Indonesia lebih suka bersosialisasi daripada
menggunakan search engine untuk melakukan pencarian informasi”. (Gizone.
Edisi 12/th.1/Maret 2010).
Facebook yang digunakan
secara tepat, banyak manfaat yang akan diperoleh seperti sebagai media
berkomunikasi, sarana promosi dalam dunia bisnis dan industri serta berbagi informasi
seputar pendidikan, diskusi ataupun informasi aktual lainnya akan tetapi intensitas
penggunaan facebook yang tidak wajar yang kemudian menjadikan makna facebook
mulai bergesar (Arani, 2010). Penggunaan facebook yang terlalu
sering disisi lain akan menciptakan ketidakseimbangan dalam kehidupan
seseorang, misalnya berkurangnya perhatian kepada keluarga atau berkurangnya
aktivitas lainnya yang lebih bermanfaat karena waktu telah tersita untuk situs facebook.
Manusia adalah mahkluk sosial dengan
tipe kepribadian yang berbeda-beda. Setiap individu selalu berhubungan dengan
orang lain meski berbeda cara dan intensitasnya. Kecenderungan ini dikenal sebagai
kebutuhan afiliasi. Kebutuhan ini melekat pada tiap individu termasuk yang
berkepribadian introvert. Ada banyak cara dan media yang dapat digunakan untuk
memuaskan kebutuhan ini. Jaringan sosial Facebook adalah salah satunya. Kebiasan mengakses jaringan sosial
ini diduga dapat menimbulkan ketagihan dan ketergantungan. Tujuan peneilitian
ini adalah mengetahuai keterkaitan antara introversi kepribadian dengan
ketergantungan terhadap facebook. Populasi penelitian adalah mahasiswa UNISSULA
dengan sampel sebanyak 167 yang diambil secara proporsional.
Data ketergantungan terhadap facebook
diukur dengan menggunakan skala yang disusun berdasar karakteristik dari
Young dan skala afilisasi dari Murray untuk mengukur kebutuhan afiliasi. Data introversi
kepribadian diukur dengan skala introversi kepribadian dari Jung. Ada tiga
hipotesis yang akan diuji. Pertama adalah ada keterkaitan antara kebutuhan
afiliasi dan introversi kepribadian dengan ketergantungan terhadap facebook.
Kedua adalah ada hubungan positif antara kebutuhan afiliasi dengan
ketergantungan terhadap facebook dan ketiga adalah ada hubungan positif
antara introversi kepribadian dengan ketergantungan terhadap fecbook. Analisis
data dilakukan dengan teknik statistic regresi ganda.
Hasil analisis menunjukan besarnya
Koefisien regresi ganda R = 0.278, F = 6.863 dan p = 0.001 (p < 0.01) yang
berarti ada hubungan yang signifikan antara kebutuhan afiliasi dan introversi
kepribadian dengan ketergantungan terhadap facebook. Uji hipotesis kedua
menunjukan ry1 = - 0.163 (p = 0.036) yang berarti hipotesis kedua ditolak
sedangkan uji hipotesis ketiga menunjukan Ry2 = 0.189 dan p = 0.015 (p <
0.05) yang berarti hipotesis ketiga diterima.
Berdasarkan hasil penelitian dan
hasil analisis data penelitian maka diperoleh kesimpulan: Pertama, ada hubungan
yang sangat signifikan antara kebutuhan berafiliasi dan introversi kepribadian
dengan ketergantungan facebook; Kedua, ada hubungan negatif yang
signifikan antara kebututahn berafiliasi dengan ketergantungan facebook;
Ketiga, ada hubungan positif yang signifikan antara intoversi kepribadian
dengan ketergantungan facebook.
Saran bagi mahsiswa yang memiliki
introversi kepribadian agar tidak terlalu larut dalam penggunaan facebook dan
aktif dalam melakukan interaksi sosial secara langsung (real) karena setiap
individu adalah bagian dari lingkungan sosial itu. Salah satu hal yang dapat
dilakukan adalah mulai belajar mengikuti organisasi-organisasi atau kegiatan ekstra
kampus, baik dalam lingkup fakultas atau pun universitas.
Saran bagi para orangtua untuk
memperhatikan karakteristik anak dengan mengetahui tipe kepribadiannya dan
memenuhi kebutuhan berafiliasi anak serta memberikan perhatian yang cukup agar
anak tidak melarikan dirinya kepada facebook sampai berlebihan. Peran
guru atau dosen dalam membantu anak didiknya dalam mengurangi penggunaan facebook
yang berlebihan salah satunya adalah dengan cara memberikan pesan moral
yakni memberitahukan dampak positif dan negatif facebook agar bijak
dalam memanfaatkannya, meningkatkan hubungan sosial dengan anak didik melalui
komunikasi secara langsung, terutama bagi anak didik dengan introversi
kepribadian.
Peneliti selanjutnya diharapkan agar
lebih memperhatikan faktor lain yang berpengaruh terhadap ketergantungan facebook
misalnya: kontrol diri, minat, motif, pengetahuan, dan usia, serta
mempertimbangkan kembali teknik sampling yang digunakan.